Cincin Bermotif Bunga
Melewati lembah Ngarai Sianok, perjalanan dari Palembayan memang menyajikan pemandangan yang sangat eksotis. Sayang rasanya kesempatan yang datang hanya hitungan jari dalam setahun berlalu begitu saja. Di usia yang sudah melewati separuh abad, aku masih menyaksikan pemandangan yang membuat kenangan lama antri dibenakku. Apalagi ada lirik lagu lawas yang rata-rata pernah bertahta di hati.
Melewati pendakian yang berbelok ke puncak bukit meningggalkan tapak sawah yang berjenjang dengan latar bukit Barisan dan gunung Pasaman yang berdiri kokoh. Awan putih yang mengambang berarak di sisi langit yang membiru cerah. Secerah lautan tiku sebagai latar yang terang disinari mentari.
Siang yang bergelora beradu panas yang menyelimuti hawa jalanan hitam beraspal. Ada nyanyian minang dari balik tirai putih memagari kearifan lokal budaya alam Minangkabau. Pelaminan bercorak merah keemasan serta sepasang pengantin terlihat sekilas di balik deru mobil dengan stelan gas yang tinggi. Bunga teratai yang bermekaran di kolam pun tersenyum bahagia medongak di balik air yang jernih.
(Sudah sampai di mana? ) terdengar suara ibu di ujung gawai yang dipegang Ulfa. Lirikan matanya bagaikan ekor bintang Kejora sambil memandangi bundanya. Ada respek dari isyarat nya yang mengatakan untuk kesekian kali nenek terus menelponnya. Hanya Ulfa yang sering menjadi tempat bicara yang cocok menurut nenek. Maklum, Ulfa memang selalu sedia dengan keluh kesah dari kenyinyiran si nenek delapan puluh tahun lebih itu.
Semenjak neneknya mengalami strook ringan di sebelah kanan tubuhnya. Nenek di bawa oleh bundanya untuk tinggal bersama di kota Duri. Seminggu di rawat di RSUD Ahmad Muhktar tidak membawa perubahan yang berarti bagi nenek. Strook yang diakibatkan penyumbatan di otak kiri telah membuatnya akrab dengan kasur.
Liukan mobil melewati sisi jalan yang berbelok sekilas tampak bunga dahlia aneka warna bermekaran. Tersenyum merunduk karena susun mahkota yang lebat. Berpadu padan dengan si mawar berduri yang merekah. Ranting yang tinggi mengarah ke jalan yang terjal dikawal tumbuhan bambu menopang sisi ngarai yang curam.
Suatu pemandangan yang merekam jejak jalur gempa yang berada di sisi kota Bukittinggi. Tepatnya di sisi tembusnya arah lobang Jepang sebagai tempat saksi sejarah perjuangan rakyat Sumatra.
"Kita lansung ke pusat kota saja," kata bunda mengarahkan abangnya yang menyetir. Ulfa yang duduk di samping abang tersenyum. Iya, Dang (panggilan untuk kakak bunda).
Mau beli apa? Tanya Adang. Beli setrika, lemari, jilbab, kata Ulfa sambil melirik Adang.
Susahnya mencari tempat parkir, mau tak mau kota yang terkenal kota Pariwisata menjadi pusat tujuan saat hari libur. Jalan yang sepi kadang berubah fungsi menjadi area parkir. Bunda, Ulfa dan mama ( anak adik nenek) pun terpaksa turun di jalan yang sempit.
Kita mau beli dimana kata bunda sama mama. Di deretan toko emas, mama menunjuk toko mas langganannya. Dalam toko yang terkesan mewah sudah berjejal aneka jenis perhiasan mulai dari cincin sampai kalung yang membuat naluri ingin memiliki harus dikubur dalam-dalam. Maklum semua anak bunda sedang kuliah. Ibarat pepatah, roda sedang mendaki.
Kami menuju lemari kaca yang berisi perhiasan cincin. Sesuai rencana menukar dan menambah dengan yang agak lebih. Harga emas yang tinggi, tapi kami tetap harus memilih di antara deretan desain tukang emas. "Yang ini bun,"kata mama sambil menunjuk cincin motif rantai. Untuk nenek sangat cocok, kata mama meyakinkan. "Coba cari motif," bunda menunjuk ke arah cincin yang berada dekat kaca. Dengan penuh senyum pelayanan yang masih ada hubungan kekerabatan dengan suami mama pun tersenyum. Orangnya berkulit kuning langsat dan tinggi. Sangat tampan apalagi kalau tersenyum, sangat memikat para pembeli.
Bunda sangat suka dengan desain yang unik. Pilihannya bisa ditukar lagi. Setelah dirasa cocok dengan ukuran jari, akhirnya satu cincin bermotif bunga berpindah ke dalam tas bunda setelah sah jual beli. Ada rasa lega hari ini. Dalam hati bunda berdoa, "semoga cincin ini bisa menambah rasa senang di hati nenek."(ibu bunda)
Cincin ini adalah hasil keringat ibu, walau sudah pensiun ibu selalu menabung uang. Kadang untuk membantu sanak keluarga.
"Ulfa nanti kalau sudah punya penghasilan harus pandai menabung. Dengan menabung bisa pergi umrah dan haji," kata nenek berpesan pada Ulfa.
"Ulfa aja sudah menabung dari dulu, tapi ada aja yang minta. Kadang abang meminjam tapi tak pernah dibayar,"kata Ulfa dengan raut wajah kesal mengingat uang tabungannya dipinjam tapi tak pernah kembali. Bunda yang jadi pendengar kadang ikut prihatin juga.
"Simpan uang di bank," kata bunda saat Ulfa marah-marah. "Ndak mau," suara Ulfa terdengar agak berat. Ini lah resikonya, kan sudah ada buku tabungan. Lagi-lagi Ulfa pun tidak mau. "Ya sudah," kata bunda.
Tak ingin berlama-lama, karena hari sudah sore kami berpisah. Mama pulang kampung sedangkan kami melanjutkan mencari lemari.
"Kita lihat di grosir saja," kata Adang sambil menyetir. Alhamdulillah, sampai di depan toko yang masih ramai pembeli. Sambil mengikuti langkah Adang menuju lantai dua. Langkah demi langkah kami meninggal lantai satu yang tertata dengan peralatan dapur bermerk. Benda yang menjadi incaran wanita itu tersusun seakan menghipnotis pecandu.
Bunda menarik nafas dalam-dalam, sambil bergumam. Kita ke sini cuma untuk membeli yang diperlukan. Lemari yang ditunjukkan pelayan toko berada di sisi kanan ruang yang dipenuhi aneka barang dari plastik.
Harga yang tertera di sisi lemari sesuai dengan kualitas barang. Kita bisa memilih sesuai ukuran kantong. Setelah beberapa pertimbangan, akhirnya lemari sampai di tempat kos Ulfa.
Senandung gawai yang tak berhenti, membuat Ulfa menghela nafas. "Pasti dari nenek," sudah bisa ditebak bun. Karena keletihan dengan perjalanan sehari, suara Ulfa sangat kecil ketika menjawab pertanyaan nenek. Bunda menarik bad cover setelah sholat Isya. Rasanya sangat capek sekali dan pusing.
Tenggelam dalam balutan suasana kelam yang bertabur cahaya bintang di luar sana. Langit malam kadang mencuri perhatian tapi apa daya. Semoga besok bisa berkumpul dan memberikan cincin ke tangan sang ibunda yang berjuang dengan serangan strook. Semoga Allah menghilangkan sumbatan di otak dan membuat saraf berfungsi kembali. Semoga jemari yang telah bersusah payah membesarkan masih bisa bergerak di usia yang semakin terguras masa.