Sabtu, 11 Februari 2023

Super Hero (bag 1)

Sinar surya menerangi setiap penjuru perkampungan yang berada di lingkungan perbukitan. Hawa yang sejuk membuatku selalu betah bermain dengan saudaraku. Waktu itu usiaku baru lima tahun. Setiap  hari kami tinggal di rumah bersama nenek. Karena kedua orang tuaku mengajar di Sekolah Dasar. 

Sekolah terletak di puncak bukit. Namanya SD 01 Tantaman Kecamatan Palembayan. Untuk pergi mengajar mereka berjalan kaki saja. Tidak ada jalan yang bisa dilalui kendaraan. Hanya jalan setapak sekitar lima ratus meter dari jalan utama. 

Saat itu yang punya kendaraan bermotor di kampung hanya dua orang. Salah satunya adalah papaku. Honda Murai namanya. Selain mengajar, papaku mempunyai usaha lain yaitu berdagang. Menjual beras sudah ditekuninya semenjak lajang. 

Beras merupakan penghasilan utama dari daerahku. Makanya disekeliling perbukitan terhampar sawah yang berjenjang. Menjual beras dilakukan papaku setiap hari Minggu dan saat libur. Pedagang keliling istilahnya. 

Saat pertama berjualan selalu bawa nasi bungkus dari rumah. Kadang dicemooh teman sesama tapi tak dipedulikan, kata papaku. Air mataku berlinang saat mendengar cerita itu. Ada rasa sesak di dada. Aku paling suka mendengar cerita dari papaku. Ini yang membuatku selalu berpikir dalam bertindak. 

Kadang aku seperti orang yang harus kuat apabila ada sesuatu yang tak diinginkan. Pernah ada yang meminjam honda kepada nenekku. Mereka ada dua orang Laki-laki sebaya dengan papaku. Mereka mau mengambil honda yang sudah dipinjam. Tadi kami sudah ke sekolah katanya meyakinkan aku dan nenekku. 

Mendengar ucapan mereka naluri ku sebagai anak perempuan tertua tidak Terima. Aku bertanya dalam hati. Setahuku papaku tak segampang itu percaya sama orang lain. Apalagi orang yang ada dihadapanku tidak pernah kulihat sebelumnya. 

Mengetahui aku tidak mau meminjamkan honda, nenekku sudah mengeluarkan suara agak tinggi. Maklum aku di kamar dan nenekku di halaman. Berikan kuncinya, kata nenekku lagi. Aku mengintip nenekku dari balik pintu kamar. Tidak mau kataku dengan suara lantang. 

Lama kami berdebat. Nak, mana kuncinya. Aku tersentak mendengar suara yang tak ku kenal sudah berada di depan jendela kamar. Pandangan kami beradu, darahku pun berdesir. Aku mulai memegang kunci honda sekuat mungkin. 

Tidak bisa kataku, menjawab tegas. Entah apa yang menguatkanku. Berkali-kali aku mengatakan hal yang sama. Semakin dibujuk semakin kuat aku bertahan. Enak saja meminjam, bisikku dalam hati. Terbayang olehku betapa sulit bagi papaku untuk mendapatkan honda. 

Ketika papa dan ibuku pulang dari sekolah, aku tertidur. Karena suara yang 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bullying

Mutiara , 30 Agustus 2024. Seluruh siswi kelas empat mengikuti keputrian bersama ustadzah Rifa Rahmatika, S. Psi dari Psikologi. Adapun pemb...