Siang menjelang sore udara terasa sangat panas. Scooter matic yang bunda parkir di bawah stand tempat bazar menghambat polesan cahaya mentari sehingga jok tidak terasa panas. Scooter matic bewarna maron melanju di lereng yang ditumbuhi jajaran pohon tinggi yang sudah termakan waktu. Di saung-saung yang berada di sebelah kiri ada beberapa orang murid yang memanggil. Dengan tersenyum bunda memberbalas sapaan sambil tetap melaju melintasi gerbang satu.
(Sudah pulang, ini lagi di jalan, kataku sambil menepi menjawab panggilan dari suami. Langsung pulang saja, sambil menjemput rujukan dan makan siang. Terdengar suara setuju dan menutup panggilan dari suami)
Makan siang bersama jarang dilakukan karena jam mengajar yang mengharuskan untuk pulang sore. Hari ini bisa izin karena murid pulang cepat karena mid semester.
Sampai di rumah, bunda mencari tas berisi surat rujukan. Tinggal memberikan pada ayah, gumam bunda sambil menyimpan dalam tas hitam persegi.
Badan yang terasa sangat letih, rasanya pingin istirahat saja. Semenjak pulang mengantar anak kuliah ke Bukittinggi tidak ada istirahat yang cukup. Badan selalu dipaksa untuk beraktivitas. Maklum semenjak suami dan ibu sakit beban yang di pikul terasa agak berat. Di sela kegiatan nikmat dari Allah selalu datang. Itu selalu tertanam dalam lubuk hati yang paling dalam.
Bun, ayah pergi dulu, kata ayah dan mengambil surat rujukan dari tangan bunda. Dari garasi mobil bewarna putih pun melewati jalan beraspal menuju rumah sakit.
Sambil menyapu rumah berkeramik putih yang terkesan tidak disapu selama beberapa waktu ditinggalkan. Ada saja sampah yang bersembunyi seakan tak rela untuk berpindah tempat. Di sela-sela kursi tamu pun, debu seakan diam seribu basa menikmati peraduan.
Gawai yang terletak di atas kasur berdering. Bunda, rujukannya sudah tidak bisa digunakan, harus rujukan baru, suara ayah dari ujung sana dengan nada kesal. Karena sudah ramai pasien dan dokter pun tidak masuk.
Rujukan baru harus diurus secepatnya. Ketika kartu yang tersimpan di HP ditujukan, saat petugas kesehatan memintanya. Hanya untuk satu kali ini saja bu, kami beri dispensasi, katanya sambil menerangkan akibat tidak membawa kartu saat mengurus rujukan. Bunda menggangguk setuju dan minta maaf. Terlihat petugas kesehatan yang berbaju putih dengan jilbab putih bercorak bunga pink dengan ramah menyilahkan duduk dan langsung mencari file.
Nofrizal! Bunda lansung berdiri dan mengambil surat rujukan dari tangan petugas yang berparas cantik. Melalui pintu kaca yang ditarik akhirnya, bunda mengirim rujukan melalui via chat WA. Centang dia bewarna biru pun, membuat perasaan bunda jadi plong. Satu tugas yang kelar di sisa waktu yang menguras tenaga dan pikiran.
(Jadwal berobat malam, kata kata ayah. Tidak apa yang penting berobat. Iya, nanti siap magrib kembali, kata bunda menyudahi).
Malam pun menyeruak jagat raya ketika toko masih dikunjungi pembeli. Walau ayah sudah berpesan untuk menutup toko. Bunda masih melayani pengunjung yang sudah terbiasa belanja di waktu malam. Biasanya pelanggan yang sehari sibuk bekerja.
Sekitar jam 21.00 bunda pun menutup toko, walau masih dikunjungi pembeli. Deru scooter membersamai di jalan beraspal. Jalur di jalan lintas sumatera memang selalu padat. Harus punya nyali yang besar untuk ikut di sela mobil roda gandeng. Jalanan selalu terang dengan lampu kendaraan yang datang silih berganti terkadang membuat silau pandangan.
Ransel yang berisi buku dan kain terasa agak berat ketika turun dari jalan beraspal di depan mesjid. Harus ektra hati-hati, karena mesjid merupakan area tempat pesinggahan, jadi terkadang banyak mobil yang parkir.
Melewati jalan lurus dengan terpaan angin yang terasa semakin sejuk. Hanya tiga kendaraan yang lewat. Ada rasa takut menyelinap karena sisi kanan jalan di penuhi tumbuhan dan tidak ada penerangan. Hanya doa yang tak henti keluar dari mulut agar selamat dari hal tidak diinginkan. Hanya beberapa orang yang berdiri di depan rumah setelah memasuki gang menuju rumah.
Kaki yang terasa berat akhirnya berusaha membuka jeruji pintu besi bewarna hitam. Hanya lampu ruang tengah yang masih menyala karena jarang dimatikan. Lima ekor kucing orange selalu setia menunggu dengan mata yang berkilau di terpa lampu kendaraan.
Menikmati makan malam dengan sepotong rendang yang masih tersisa. Malam semakin menggeliat, setelah sholat bunda merebahkan tubuh di atas tilam bermotif bunga tulip.
"Ayah, mana bun? Kok tidak ada di rumah, kedai juga tutup," tanya Dani yang pulang dari tempat nenek. Antara sadar dan tidak. Bunda membuka mata. "Ayah masih di rumah sakit, menunggu antrian karena ganti dokter,"jawab bunda dan lansung memejamkan mata.
Dalam hitungan menit ada yang mengalir di rongga hidung. Bunda pun melap dengan jari. Semakin dipejamkan, air yang mengalir semakin tak berhenti sehingga bunda lap lagi dengan baju daster. Bunda terkejut setelah melihat jari tangan ada bayangan hitam karena lampu kamar dimatikan. Sesaat rongga hidung dan mulut sudah dipenuhi cairan.
Cahaya yang masuk lewat pintu, telah menampakkan cairan bewarna merah di sela jari tangan. Sepanjang langkah kaki menuju kamar mandi darah sudah berceceran.
Dani bangunkan ibu sebelah, minta tolong antar ke rumah sakit. Cepatlah nak! Suara bunda mulai terdengar lirih. Tisu dan sapu tangan sudah di penuhi darah. Sambil memegang gayung tempat menumpahkan darah dari mulut.
(Ayah, bunda hidung bunda berdarah! Ujar dani via telfon. Ya, ayah sudah mau pulang).
Beri kunci mobil sama bapak sebelah ayah tak kuat bawa mobil, seru bunda.
Beri daun sirih saja, kata bapak. Dimana mau mencari dau sirih ya, kata ibu sebelah. Daun sirih ada di barang jambu madu di belakang rumah. Dani cepat membuka pintu tu dan membawa daun sirih.
Ini pengalaman pertama bunda mimisan, tapi kenapa banyak sekali darah. Biasanya di sekolah juga banyak yang mimisan, setelah di kompres dengan es batu darah pun berhenti. Dokter jaga pun menjelaskan, bisa saja karena ada pembuluh darah yang pecah karena sesuatu sebab, katanya dengan ramah. Sekarang ibu tenang, nanti kita beri suntik untuk menghentikan darah. Bunda menggangguk setuju.
"Tahan ya bu, kepalkan tangannya ada rasa sakit sedikit," kata suster sambil mengeluarkan jarum suntik berukuran kecil.
Malam semakin menyeruak, terasa dingin dan matapun mulai mengantuk. "Ayah antar dulu bapak sebelah pulang karena besok beliau akan menyiapkan jualan." Bunda mengangguk setuju, dan tinggal bersama Dani di rumah sakit. Bunda berusaha untuk memicingkan mata, tapi ada saja suara rintihan dari pasien sebelah.
"Ibu boleh pulang," kata dokter jaga. Jangan lupa makan obat dan kalau terjadi lagi tak usah panik! Bunda menggangguk dan menyuruh Dani untuk meminta surat keterangan sakit.
"Dua hari dengan sekarang bun,"kata dani."Bunda tidak perlu izin sekarang Dani. Ini kan malam. Bunda perlu besok. "Bu ini sudah pagi," kata suster sudah jam dua lewat. (Bunda terpelongo mendengar, rasanya hari baru jam sebelas. Rupanya sudah larut malam pantas mengantuk sekali, gumam bunda)
Melewati jalan raya yang penuh sorotan cahaya lampu kendaraan, ayah pun menyetir dengan hati-hati. Di luar kaca mobil deretan bintang mencuri perhatian. Seakan berkata nikmati hidup ini dengan ikhlas. Keindahan tidak ada yang abadi kecuali kembali bersama-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar